Berilah dan
Lihat Berkatmu
Siang hari saat aku
pulang sekolah, seorang lelaki berumur empat puluh tahun membujuk wanita yang
usianya dua tahun di bawahnya, sedang menangis tersendu. Mereka ayah dan ibuku.
Aku hendak memberi salam lantas mengurungkan niat, segera bersembunyi di balik
pintu. Tak sekalipun ibu menangis seharu ini di hadapanku. Selalu bersikap
tegar seakan masalah tak pernah menghampirinya. Di balik pintu aku menguping
drama haru tanpa sutradara. Mirip adegan kisah-kisah dramatis film.
“Sudalah bu, yakin
saja badai ini akan segera berakhir.”
“Tapi Tuhan tidak
adil pak! Masakan kita yang sering membantu orang malah medapat musibah seburuk
ini!”
“ hus. Tak boleh
berfikiran seperti itu. Kebaikan Tuhan sudah lebih dari cukup kita terima.
Kebaikan yang kita lakukan hanya bagian kecil, dan tidak bernilai.”
Aku mulai mengerti
dengan keadaan, musibah penimpah keluargaku. Air mataku jatuh. Kaget bagai
tertampar sendal eigernamun tidak
terasa begitu sakit. Seminggu lalu kakak dari ibu meninggal dunia. Rasa sedih
dan kehilangan pasti menimpa kami, namun tidak ada tangisan dari ibu. Katanya
padaku, “Tuha yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan.” Tidak
berhenti di situ, ayah di PHK tanpa alasan yang jelas. Efeknya adalah kebutuhan
hidup yang terus menuntut semetara ayah baru sembuh seminggu yang lalu. Mungkin
kami kehabisan uang untuk berobat. Yang membuat ibu menagis ternyata keputusa
ayah menjual cincin pernikahan miliknya.
Terdengar bunyi
langkah kaki ayah akan keluar dari rumah, lantas dengan cekatan aku beralih tempat
persembunyian dari pintu depa ke balik tembok samping rumah dengan mata basah
dan jantung berdetak keras. Ayah sudah berjalan keluar rumah dengan berjalan
kaki, tak menghiraukan sepeda motor yang terparkir di halaman.
Aku mengintai dari
belakang. Jika benar dia akan menjual cincin, letak pasar perhiasan memang agak
dekat dari rumah. Sekitar satu kilo meterlah.sebeanya sangat sayang sekali
cincinya itu. Logam mulia bekilau bemata intan menyempurnakan keindahanya. Aku
tahu itu sangat berarti baginya. Terigat dulu saat kami dalam kelimpahan, saat
ayah masih sering membantu orang berkesusahan. Delapan tahun silam Om Natan,
adik sepupu ayah juga merasaka hal yang sama. Kehimpitan akan kebutuhan.
Setelah Om Natan dipenjaakan karena suatu perkara.
“Sekarang apa
rencanamu Natan?” ayah bertanya dengan pengertian.
“Aku berpikir kalau
tak mugkin lagi hidup di sini bang. Pastilah aku telah dianggap sebagai
penjahat berdarah dingin yang tidak punya belas kasihan.”
“Lantas kau mau ke
mana?”
“Sumatera bang. Mau
pulang kampung sajalah.”
Ayah segera mengerti
maksud kedatangan Om Natan. Kepada siapa lagi adik sepupunya itu meminta
bantuan selain dari orang seperti ayah. Saat itu keluarga kami masih serba
berkecukupan.
“Jadi berapa kau
butuh uang?”
“Yah, aku butuh ogkos
perjalaan pulang dan hendak membuka usaha kecil-kecilan di sana bang.”
“Lima juta cukup?”
“Lima juta?” Om Natan
tersentak tidak percaya dengan nomial lima juta. Jelas-jelas lebih banyak dari
yang diharapkanya. Tanganya gemetar memegang lima puluh lembar uang seratus
ribu sambil mulutnya mengucap syuku memuji Tuhan.
***
Cincin emas tidak
dapat dijual timbang karena menyatu dengan intan sebagai matanya. Ko Josep
memberi harga yang teramat redah. Hanya tiga juta rupiah. Padahal sewaktu ayah
dan ibu hendak menikah, harga cincin tersebut dua kali dari harga yang
sekarang. Hanya desaka kebutuhan memaksa ayah melepaskan cincin itu dengan
berat hati.
Ayah pulang dari
pasar perhiasan dengan wajah yang tak dapat diartikan. Betapa pedih hatinya
melepas cincin pernikahan demi kebutuhan sekeluarga sambil menunggu mendapat
pekejaan yang baru. Namun dia juga besyukur bisa menolong dirinya dan kami
sekeluarga dengan begitu. Ayah begitu bersyukur jika dapat menolong sesama,
melepaskan orang dari himpita masalah hidup. Sering juga ayat Alkitab
dikutipnya untuk diriku
“Bertolong-tolonglah
menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum Kristus(Galatia 6 : 2).”
Sekarang, di bawah
terik matahari yang membakar kulit dan peluh yang terus mengalir di sekujur
tubuh, ayah berjalan menuju rumah
“Frans! Hey Frans!”
Langkah kaki ayah
terhenti agak terkejut ia menoleh ke arah seberang jalan. Namanya dipanggil
dari warung di seberang jalan. Muncul seorang wanita melambaikan tangan. Ayah
nampak kebingungan berusaha mengenali wanita tersebut. Keadaanya
memprihatinkan, wajahnya kusam, bajunya luluh, menggendong seorang anak
laki-laki.
“Hei Lita?” Ayah berusaha menebak sambil meyambut tangan
bersalaman.
“Ya Frans aku Lita,
tumben-tumben kita bertemu di sini, bukankah seharusnya kau berada di kantor
jam segini?
“Hehe.. ada urusan
sedikit. Bagaimana kabarmu Lita? Apa yang terjadi hingga kau seperti ini?” ayah
menyerbunya dengan beberrapa pertayaan membuatnya sedikit tergugup.
“Kebetulan aku
bertemu kamu Frans, mau bicara penting.”
“Ada apa Lita?”
“Aku butuh
pertologanmu. Aku dalam kesulitan. Ayo kita duduk di warung itu, di sini panas
sekali.”
Mereka duduk di dalam
kedai bercerita dengan serius. Lita menceritakan tentang rumahnya yang terbakar
hingga balok penyangga rubuh. Suaminya tertimpa balok, tak dapat meyelamatkan
diri sehingga terpanggang oleh si jago merah.
Meskipun kami sedang
dilanda kesusahan yang sama, ayah tak mau angkat cerita soal itu. Yang dia
tahu, ketika seorang sedang meminta bantuanya dia harus menolong sekecil apapun
pertolonganya. Belas kasihan memenuhi hatinya, lalu dari bibirnya keluar
kata-kata yang kaku,
“Berapa kau butuh
uang?” Dia sendiri tidak percaya akan apa yang di katakanya.
“Kau mau
meminjamkanku uang Frans?
“Kau butuh berapa?”
“Dua juta
rupiah,Fans.”
Dua juta rupiah
berarti melebihi dari setengah dari penjualan cicilan.Tanpa ada kearagu-raguan
ayah memasukan uang satu juta memasukannya kembali di dalam kantung
celana.Sisanya dia berikan pada perempuan malang yang harus mengurus balita
yang berumur dua tahun.begitulah hidupku.
“Ambilah,dan jangan
pernah berpikir untuk mengembalikannya padaku.Saat kita besekolah kau banyak
membantuku.Ini semua untukmu,untuk keselamatan anakmu.Jangan terlalu
membeatkannya dengan pekejaan .”
“Teima kasih
Frans,kau baik sekali padaku.”
“Berterima kasilah
pada Tuhan yang memberiku rejeki.”
***
Ayah beranjak darri
kedai degan perasaan ganjil.Sangat riang,riang sekali hatinya karena sekali
lagi dia dapat menolong seseorang.Namun di sisi lain,kekuatiran melanda
otaknya.Apa yang dia lakukan?Menyerahkan dua per tiga dari hasil penualan
cicilan yang di tangisi ibu?
Ayah melakukan
perjalanan pulang.Makin dekat dengan rumah,makin terbayang bagai mana raut muka
ibu dan aku jika tau hal ini.Dengan gugup ayah mengerogoti sakunya,tersisa satu
juta uang cincinnya.Tidak terasa langkahya semaki n bertambah cepat seolah-olah
kekuatan gaib telah mendorongnya .Ayah sudah berdiri di beranda rumah.Aku masih
saja terus mengintai merasa takut ayah menyadari keberaanku.
Ada tamu rupanya
dengan sebuah mobil mewah terparkir di beranda.Ayah mendekati,memperhatikan
mobil dengan seksama.Dia tiak mengenalinya.Setitik harapan timbul,mungkin saja
itu mobil bosnya yang mau meminta maaf atas PHK yang membuat ayah menjadi
menganggur.menaiki tangga rumah dengan tergesa-gesa hendak memastika pemilik
mobil mewah di depan.Di dalam rumah Om Natan sudah lebih dulumenyaari kedatanga
saudaranya langsug bergegas lari, merangkul, memeluk ayah dengan tangis. Ayah
tersadar. Delapan tahun semenjak Om Natan pergi hingga sekarang tidak ada kabar
tentangnya, namum Om Natan sudah menjadi kaya! Bagai mana mungkin Om Natan
melupakan jasa baik ayah pada masa-masa sulitnya di dalam tangis mereka beua
saling mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
“Bang Frans, hidupku
tidak mungkin seperti ini tanpa bantuanmu delapan tahun lalu. Aku sangan putus
asa kala itu, dan kau bagaika seorang malaikat penolog hidupku. Sekarang, aku
datang dan merasa sedih atas keadaan keluargamu. Biarkan aku membantumu, kau
akan membuka usaha dengan modal dariku Bang.” Seru Om Natan sambil menangis.
Begitulah balasan dari kebaikan tulus yang kita kerjakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar