Jumat, 02 September 2016

Cerpen sederhana



Berilah dan Lihat Berkatmu

Siang hari saat aku pulang sekolah, seorang lelaki berumur empat puluh tahun membujuk wanita yang usianya dua tahun di bawahnya, sedang menangis tersendu. Mereka ayah dan ibuku. Aku hendak memberi salam lantas mengurungkan niat, segera bersembunyi di balik pintu. Tak sekalipun ibu menangis seharu ini di hadapanku. Selalu bersikap tegar seakan masalah tak pernah menghampirinya. Di balik pintu aku menguping drama haru tanpa sutradara. Mirip adegan kisah-kisah dramatis film.
“Sudalah bu, yakin saja badai ini akan segera berakhir.”
“Tapi Tuhan tidak adil pak! Masakan kita yang sering membantu orang malah medapat musibah seburuk ini!”
“ hus. Tak boleh berfikiran seperti itu. Kebaikan Tuhan sudah lebih dari cukup kita terima. Kebaikan yang kita lakukan hanya bagian kecil, dan tidak bernilai.”
Aku mulai mengerti dengan keadaan, musibah penimpah keluargaku. Air mataku jatuh. Kaget bagai tertampar sendal eigernamun tidak terasa begitu sakit. Seminggu lalu kakak dari ibu meninggal dunia. Rasa sedih dan kehilangan pasti menimpa kami, namun tidak ada tangisan dari ibu. Katanya padaku, “Tuha yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan.” Tidak berhenti di situ, ayah di PHK tanpa alasan yang jelas. Efeknya adalah kebutuhan hidup yang terus menuntut semetara ayah baru sembuh seminggu yang lalu. Mungkin kami kehabisan uang untuk berobat. Yang membuat ibu menagis ternyata keputusa ayah menjual cincin pernikahan miliknya.
Terdengar bunyi langkah kaki ayah akan keluar dari rumah, lantas dengan cekatan aku beralih tempat persembunyian dari pintu depa ke balik tembok samping rumah dengan mata basah dan jantung berdetak keras. Ayah sudah berjalan keluar rumah dengan berjalan kaki, tak menghiraukan sepeda motor yang terparkir di halaman.
Aku mengintai dari belakang. Jika benar dia akan menjual cincin, letak pasar perhiasan memang agak dekat dari rumah. Sekitar satu kilo meterlah.sebeanya sangat sayang sekali cincinya itu. Logam mulia bekilau bemata intan menyempurnakan keindahanya. Aku tahu itu sangat berarti baginya. Terigat dulu saat kami dalam kelimpahan, saat ayah masih sering membantu orang berkesusahan. Delapan tahun silam Om Natan, adik sepupu ayah juga merasaka hal yang sama. Kehimpitan akan kebutuhan. Setelah Om Natan dipenjaakan karena suatu perkara.
“Sekarang apa rencanamu Natan?” ayah bertanya dengan pengertian.
“Aku berpikir kalau tak mugkin lagi hidup di sini bang. Pastilah aku telah dianggap sebagai penjahat berdarah dingin yang tidak punya belas kasihan.”
“Lantas kau mau ke mana?”
“Sumatera bang. Mau pulang kampung sajalah.”
Ayah segera mengerti maksud kedatangan Om Natan. Kepada siapa lagi adik sepupunya itu meminta bantuan selain dari orang seperti ayah. Saat itu keluarga kami masih serba berkecukupan.
“Jadi berapa kau butuh uang?”
“Yah, aku butuh ogkos perjalaan pulang dan hendak membuka usaha kecil-kecilan di sana bang.”
“Lima juta cukup?”
“Lima juta?” Om Natan tersentak tidak percaya dengan nomial lima juta. Jelas-jelas lebih banyak dari yang diharapkanya. Tanganya gemetar memegang lima puluh lembar uang seratus ribu sambil mulutnya mengucap syuku memuji Tuhan.
***
Cincin emas tidak dapat dijual timbang karena menyatu dengan intan sebagai matanya. Ko Josep memberi harga yang teramat redah. Hanya tiga juta rupiah. Padahal sewaktu ayah dan ibu hendak menikah, harga cincin tersebut dua kali dari harga yang sekarang. Hanya desaka kebutuhan memaksa ayah melepaskan cincin itu dengan berat hati.
Ayah pulang dari pasar perhiasan dengan wajah yang tak dapat diartikan. Betapa pedih hatinya melepas cincin pernikahan demi kebutuhan sekeluarga sambil menunggu mendapat pekejaan yang baru. Namun dia juga besyukur bisa menolong dirinya dan kami sekeluarga dengan begitu. Ayah begitu bersyukur jika dapat menolong sesama, melepaskan orang dari himpita masalah hidup. Sering juga ayat Alkitab dikutipnya untuk diriku
“Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum Kristus(Galatia 6 : 2).”
Sekarang, di bawah terik matahari yang membakar kulit dan peluh yang terus mengalir di sekujur tubuh, ayah berjalan menuju rumah
“Frans! Hey Frans!”
Langkah kaki ayah terhenti agak terkejut ia menoleh ke arah seberang jalan. Namanya dipanggil dari warung di seberang jalan. Muncul seorang wanita melambaikan tangan. Ayah nampak kebingungan berusaha mengenali wanita tersebut. Keadaanya memprihatinkan, wajahnya kusam, bajunya luluh, menggendong seorang anak laki-laki.
“Hei Lita?” Ayah  berusaha menebak sambil meyambut tangan bersalaman.
“Ya Frans aku Lita, tumben-tumben kita bertemu di sini, bukankah seharusnya kau berada di kantor jam segini?
“Hehe.. ada urusan sedikit. Bagaimana kabarmu Lita? Apa yang terjadi hingga kau seperti ini?” ayah menyerbunya dengan beberrapa pertayaan membuatnya sedikit tergugup.
“Kebetulan aku bertemu kamu Frans, mau bicara penting.”
“Ada apa Lita?”
“Aku butuh pertologanmu. Aku dalam kesulitan. Ayo kita duduk di warung itu, di sini panas sekali.”
Mereka duduk di dalam kedai bercerita dengan serius. Lita menceritakan tentang rumahnya yang terbakar hingga balok penyangga rubuh. Suaminya tertimpa balok, tak dapat meyelamatkan diri sehingga terpanggang oleh si jago merah.
Meskipun kami sedang dilanda kesusahan yang sama, ayah tak mau angkat cerita soal itu. Yang dia tahu, ketika seorang sedang meminta bantuanya dia harus menolong sekecil apapun pertolonganya. Belas kasihan memenuhi hatinya, lalu dari bibirnya keluar kata-kata yang kaku,
“Berapa kau butuh uang?” Dia sendiri tidak percaya akan apa yang di katakanya.
“Kau mau meminjamkanku uang Frans?
“Kau butuh berapa?”
“Dua juta rupiah,Fans.”
Dua juta rupiah berarti melebihi dari setengah dari penjualan cicilan.Tanpa ada kearagu-raguan ayah memasukan uang satu juta memasukannya kembali di dalam kantung celana.Sisanya dia berikan pada perempuan malang yang harus mengurus balita yang berumur dua tahun.begitulah hidupku.
“Ambilah,dan jangan pernah berpikir untuk mengembalikannya padaku.Saat kita besekolah kau banyak membantuku.Ini semua untukmu,untuk keselamatan anakmu.Jangan terlalu membeatkannya dengan pekejaan .”
“Teima kasih Frans,kau baik sekali padaku.”
“Berterima kasilah pada Tuhan yang memberiku rejeki.”
***
Ayah beranjak darri kedai degan perasaan ganjil.Sangat riang,riang sekali hatinya karena sekali lagi dia dapat menolong seseorang.Namun di sisi lain,kekuatiran melanda otaknya.Apa yang dia lakukan?Menyerahkan dua per tiga dari hasil penualan cicilan yang di tangisi ibu?
Ayah melakukan perjalanan pulang.Makin dekat dengan rumah,makin terbayang bagai mana raut muka ibu dan aku jika tau hal ini.Dengan gugup ayah mengerogoti sakunya,tersisa satu juta uang cincinnya.Tidak terasa langkahya semaki n bertambah cepat seolah-olah kekuatan gaib telah mendorongnya .Ayah sudah berdiri di beranda rumah.Aku masih saja terus mengintai merasa takut ayah menyadari keberaanku.
Ada tamu rupanya dengan sebuah mobil mewah terparkir di beranda.Ayah mendekati,memperhatikan mobil dengan seksama.Dia tiak mengenalinya.Setitik harapan timbul,mungkin saja itu mobil bosnya yang mau meminta maaf atas PHK yang membuat ayah menjadi menganggur.menaiki tangga rumah dengan tergesa-gesa hendak memastika pemilik mobil mewah di depan.Di dalam rumah Om Natan sudah lebih dulumenyaari kedatanga saudaranya langsug bergegas lari, merangkul, memeluk ayah dengan tangis. Ayah tersadar. Delapan tahun semenjak Om Natan pergi hingga sekarang tidak ada kabar tentangnya, namum Om Natan sudah menjadi kaya! Bagai mana mungkin Om Natan melupakan jasa baik ayah pada masa-masa sulitnya di dalam tangis mereka beua saling mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
“Bang Frans, hidupku tidak mungkin seperti ini tanpa bantuanmu delapan tahun lalu. Aku sangan putus asa kala itu, dan kau bagaika seorang malaikat penolog hidupku. Sekarang, aku datang dan merasa sedih atas keadaan keluargamu. Biarkan aku membantumu, kau akan membuka usaha dengan modal dariku Bang.” Seru Om Natan sambil menangis. Begitulah balasan dari kebaikan tulus yang kita kerjakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar